Oleh: Aris Suko Wibowo, Praktisi Perpajakan
Peran pajak dalam pembangunan nasional sangat penting. Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2022 Audited, realisasi penerimaan perpajakan Tahun Anggaran 2022 sebesar Rp 2.034,55 triliun. Jika dibandingkan total pendapatan negara dan hibah, penerimaan perpajakan berkontribusi sebesar 77,19 persen pada 2022 rata-rata sebesar 77,83 persen selama periode 2018 sampai dengan 2022.
Salah satu sumber penerimaan perpajakan adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan sebesar Rp337,59 triliun atau sebesar 37,13 persen dari penerimaan PPh non migas sebesar Rp909,00 triliun
Beberapa perusahaan mengalami kebangkrutan (pailit) yang salah satu faktornya disebabkan karena besarnya utang pajak. Bagaimana pajak bisa membuat bangkrut? Umumnya karena dikenakan denda maksimal yang sebesar empat kali dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 39 ayat 1 UU KUP).
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai praktisi perpajakan, berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan para pengusaha dan pengelola perusahaan agar jangan sampai terjadi kebangkrutan karena pajak.
Penulis membagi kewajiban pajak ini menjadi empat yakni (1) PPh Badan yang mengurangi penghasilan sendiri, (2) PPh pemotongan dan pemungutan, yakni PPh yang mengurangi penghasilan lawan transaksi, (3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan Pajak yang harus dipungut atas penyerahan barang atau jasa dan (4) Bea Meterai yang merupakan bea atas dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5 juta.
Jika sejak awal pengusaha memahami keempat jenis pajak di atas, maka potensi kebangkrutan perusahaan karena pajak dapat diminimalisasi atau bahkan dapat dihilangkan.
Pada tahap awal pendirian, pastikan klasifikasi lapangan usaha yang dipilih sesuai dengan keadaan sebenarnya. Ketika mendaftarkan diri memperoleh NPWP, pastikan pula Anda memilih menggunakan tarif normal PPh Pasal 17 atau menggunakan tarif PPh Final berdasarkan PP 23 Tahun 2018 yang telah diubah dengan PP 55 Tahun 2022. Pemilihan jenis tarif di tahap pendaftaran NPWP dapat menghindarkan perusahaan dari denda pajak karena kesalahan perhitungan tarif.
Berikutnya, ketika menjalankan perusahaan, buatlah pembukuan yang rapi dan usahakan single source of truth, tidak perlu membuat pembukuan ganda, atau triple atau bahkan lebih banyak versi. Bagaimana jika terdapat beda perlakuan menurut akuntansi dan menurut pajak? Dalam SPT Tahunan 1771 Lampiran I, terdapat perhitungan penghasilan kena pajak di mana terdapat kolom koreksi fiskal positif atau negatif.
Pembukuan adalah dasar menghitung PPh Badan bagi pengusaha dan bagi otoritas pajak. Jika pembukuan dilakukan apa adanya, maka peluang untuk terdapat temuan kurang pajak akan lebih kecil dibandingkan perusahaan yang membuat pembukuan tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
Pembukuan yang benar dan penerapan tarif pajak yang tepat akan memperkecil kemungkinan munculnya PPh Badan yang kurang atau masih harus dibayar. PPh Badan ini prinsipnya adalah pajak atau keuntungan suatu perusahaan. Jadi pajak ini, mengurangi kekayaan perusahaan sendiri.
Setelah selesai dengan PPh Badan, perusahaan harus memperhatikan mengenai PPh pemotongan dan pemungutan. Konsep PPh pemotongan dan pemungutan adalah perusahaan memotong penghasilan yang diterima oleh lawan transaksi untuk disetor ke kas negara, di mana PPh yang disetor ke kas negara ini dapat dikreditkan atau diklaim oleh lawan transaksi perusahaan.
PPh pemotongan dan pemungutan tidak mengurangi kekayaan/penghasilan perusahaan, melainkan mengurangi penghasilan lawan transaksi. Namun jika perusahaan tidak melakukan pemotongan, maka otoritas pajak dapat menagih kepada perusahaan. PPh jenis ini antara lain PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Final Pasal 4 ayat (2). Perusahaan harus memahami konsep PPh pemotongan dan pemungutan ini dari awal agar terhindar dari munculnya utang pajak di kemudian hari.
Sebagai contoh, atas penyewaan tanah dan/atau bangunan dari pihak lain, perusahaan harus memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10 persen. Misal Perusahaan menyewa tanah dan bangunan senilai Rp1 miliar, maka perusahaan harus memotong PPh sebesar Rp100 juta. Nominal Rp100 juta ini adalah uangnya pemilik lahan. Namun jika perusahaan tidak melakukan pemotongan, Kantor Pajak akan menagihnya pada perusahaan Anda!
Contoh lain, perusahaan Anda membayar biaya bunga kepada PT A (bukan bank) sebesar Rp200 juta. Perusahaan Anda harus memotong PPh Pasal 23 atas bunga dengan tarif 15 persen atau sebesar Rp30 juta. Angka ini bukan uang Anda, namun uang lawan transaksi Anda (PT A). Namun jika Anda tidak melakukan pemotongan, maka yang akan ditagih oleh Kantor Pajak adalah perusahaan Anda.
Setiap pengusaha pasti ingin usahanya makin besar. Jika peredaran usaha dalam setahun sudah melebihi Rp 4,8 miliar, maka perusahaan wajib untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dan berikutnya atas seluruh penyerahan barang/jasa, perusahaan wajib memungut PPN.
Kesan yang muncul atas PPN ini adalah akan membuat produk perusahaan menjadi tidak kompetitif karena harus ada pungutan PPN sebesar 11 persen. Faktanya, tidak sepenuhnya benar. Hal ini disebabkan di PPN ada skema pajak keluaran dan pajak masukan, di mana PPN yang harus disetorkan nanti adalah hanya sebesar selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan (PPN atas pembelian barang/jasa).
Setelah dikukuhkan sebagai PKP, prinsip utamanya adalah perusahaan harus menerbitkan faktur pajak atas seluruh penyerahan, termasuk penjualan atas aset yang sebelumnya tidak diperuntukkan untuk dijual, seperti penjualan mobil operasional.
Jika sudah PKP dan tidak menerbitkan atau terlambat menerbitkan faktur, maka denda yang muncul bisa sangat besar, yakni 1 persen dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Bayangkan jika perusahaan ada penyerahan Rp1 miliar yang tidak/terlambat diterbitkan faktur, maka PPN yang dapat ditagih sebesar Rp110 juta dan sanksi berupa denda Rp10 juta, dan sanksi keterlambatan kurang lebih 1 persen per bulan dari Rp110 juta. Tentunya hal ini akan sangat memberatkan jika ditemukan di kemudian hari.
Perlu diperhatikan pula ketentuan khusus PPN antara lain kewajiban penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri dengan tarif efektif 2,2 persen. Misal perusahaan membangun sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200 meter persegi, biaya pembangunan sebesar Rp2 miliar, maka perusahaan harus melakukan penyetoran PPN sebesar Rp44.000.000.
Terakhir yang sering terlewatkan adalah Bea Meterai. Banyak perusahaan yang tidak memahami bahwa atas dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000 menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan, harus dibubuhi meterai tempel senilai Rp10.000. Terlewat memenuhi ketentuan ini akan mengakibatkan muncul utang meterai di kemudian hari.
Dari uraian di atas, sangat penting bagi para pengusaha dan pengelola perusahaan untuk memahami konsep dasar perpajakan agar dapat terhindar dari bangkrutnya usaha karena pajak.
Pak, bisa di bantu untuk laporkan SPT PT Perorangan saya yang belum ada transaksi, dan mohon info berapa mahar nya. Terimakasih
Ini no WA saya
087761050681
Bpk. Dalmi
Bisa kerjakan sendiri dng tutorial lengkap ini: gratis . https://youtu.be/SAG72FwnzEA
Jika butuh asistensi, silakan hub AKA 0812-8887-9737