Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi memberlakukan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini disampaikan Sri Mulyani pada puncak peringatan hari pajak di Jakarta (19/07).
Payung hukum ketentuan ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Instansi Pemerintah.
Pemberlakuan NIK menjadi NPWP ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat baik positif maupun negatif.
Masyarakat yang bereaksi positif menganggap kebijakan baru ini akan menyederhanakan administrasi kependudukan, di mana akan berkurang satu jenis nomor identitas.
Beberapa masyarakat yang kontra khawatir penggunaan NIK sebagai NPWP ini membuat seluruh warga negara harus membayar pajak, tidak peduli orang mampu maupun kurang mampu secara finansial.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Penggunaan NIK sebagai NPWP ini adalah salah satu wujud dari reformasi perpajakan terkini. Seperti disampaikan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utama dalam Acara Puncak Perayaan Hari Pajak 2022, ini merupakan salah satu wujud interoperabilitas/keterhubungan antarsistem.
Manfaat terbesar yang didapatkan masyarakat adalah kesederhanaan. Ke depan, seiring dengan makin sempurnanya teknologi administrasi perpajakan, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak akan lebih mudah dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh) maupun PPN yang harus dibayar.
Dalam pelaporan pajak dikenal istilah prepopulated, di mana PPh yang dipotong pihak lain akan muncul otomatis di akun DJP Online. Jumlah akan makin banyak dan valid karena berdasarkan NIK, yang setiap orang pasti memilikinya.
Sebagai ilustrasi, Wajib Pajak A mendapatkan penghasilan dari perusahaan B. Data penghasilan dan pajak yang sudah dipotong oleh perusahaan B akan muncul di akun DJP Online Wajib Pajak A, tanpa perlu lagi menunggu bukti potong.
Sementara itu, kekhawatiran juga muncul di tengah publik terkait kebijakan ini. Mengingat setiap warga negara memiliki NIK. Setiap NIK dianggap sebagai NPWP, maka setiap warga negara diharuskan membayar pajak.
Sebenarnya hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Ketentuan pemajakan tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Untuk orang pribadi karyawan misalnya, baru akan dipotong pajak jika penghasilannya lebih dari penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Contoh PTKP, untuk wajib pajak belum menikah adalah Rp 54 juta dalam setahun. Artinya, jika seorang karyawan memiliki gaji kurang dari Rp 4,5 juta dalam sebulan atau tidak lebih dari Rp 54 juta dalam setahun, maka karyawan itu belum ada kewajiban pembayaran PPh.
Bagaimana dengan pengusaha atau pedagang kecil? Wajib Pajak pedagang peredaran usaha (omset) dalam satu tahun pajak kurang dari Rp 4,8 miliar setahun, dikenakan PPh 0,5 persen dari omset. Bahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 diatur bahwa Wajib Pajak kategori ini, tidak dikenakan PPh atas bagian omset di bawah Rp 500 juta.
Jadi, dengan berlakunya NIK sebagai NPWP, Wajib Pajak lebih dimudahkan, karena tidak perlu lagi menghafal nomor identitas selain KTP. Masyarakat juga tidak perlu khawatir karena tidak ada jenis pajak yang baru, bahkan saat ini terdapat kebijakan yang meringankan pengusaha UMKM di mana atas omset di bawah Rp 500 juta tidak lagi terutang PPh.
Sebagai penutup, masyarakat baik berprofesi sebagai karyawan, profesional, maupun usahawan disarankan untuk lebih peduli mengenai pencatatan keuangan.
Jangan lupa untuk menyampaikan SPT Tahunan setahun sekali. Laporkan penghasilan, harta dan utang sesuai keadaan sebenarnya. Karena dengan integrasi NIK dan NPWP ini, sebagian besar transaksi keuangan akan saling terkait dan cepat atau lambat, otoritas pajak akan memiliki data pembanding mengenai kebenaran pelaporan pajak anda.
Bagaimana jika per saat ini Wajib Pajak belum lapor SPT Tahun? Sangat disarankan untuk melakukan pelaporan SPT Tahunan meskipun terlambat, karena menurut UU Perpajakan, sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan dapat dikenai sanksi pidana.